150 HARI DI BAWAH BULAN





SEPATAH KATA


            Buku kecil ini ditulis dari pengalaman pribadi dan didedikasikan untuk seluruh teman-teman malamku yang telah banyak membantuku dalam menjalani masa-masa sulit dalam hidupku.
            Banyak hal yang belum tertuang di sini, namun buku ini perlu kuselesaikan sebagai prasasti kembalinya aku ke kenyataan. Selanjutnya buku ini akan disempurnakan terus dari bawah matahari.
            Terimakasihku yang tak terhingga pada teman baikku : Mami Cuncun yang selalu berkata “Di sini jangan pakai hati!”, Bunda Grace yang sering bersedih untuk dukaku, Doni dan Lina yang setia menemaniku di perjalanan malam, Adik-adikku Evi dan Rika yang selalu siap menghiburku ketika kusendiri, Indah, Ina, Tia dan Lisa yang pernah punya arti tersendiri untukku, dan seluruh keluarga besar BC yang telah kuanggap keluarga.
            Permintaan maafku dari hati yang paling dalam pada anak-anakku : Binar Bestari (12 Thn) yang kehilangan perhatianku selama ini dan Bening Thahira (6 Thn) yang sering tertidur di depan pintu dengan sia-sia menunggu kepulanganku, dan istriku Atiek ; ”Walaupun cawan suci yang kita punya telah retak banyak kau masih berusaha menjaganya”
            Akhirnya terimakasih dan maaf yang tak terhingga  untuk seseorang yang menjadi inti inspirasi hampir seluruh isi buku ini : ”Belajarlah berdamai dengan diri sendiri, semua beban akan terasa lebih ringan jika dipikul dengan jiwa yang lapang




                                                                                                                     Kembara




SELAMAT TINGGAL MATAHARI

Selama ini
Matahari tidak pernah sanggup
membakar kesabaranku
Sampai satu ketika…
Burung-burung yang mencari makan
membawa cerita tentang dosa
yang tak pernah kuperbuat….!!

Cawan Suci retak banyak
Menumpahkan anggur yang mengalir
ke segala penjuru
mengambil jalan sendiri-sendiri
dan Aku....
mencari tempat berpijak....
mencari tempat berteduh....
mencari kedamaian.....
di sini,
di bawah bulan...
diantara lampu kota
di temaram hingar bingar
dikesemuan yang menenangkan
“Selamat Tinggal Matahari”




PEREMPUAN-PEREMPUAN DI BALIK KACA

Perempuan-perempuan di balik kaca,
berbedak tebal, bercengkrama..
Darimana datangnya mereka...?

Ku tunggu kedatangannya satu-satu..
Ada yang datang dari frustasi
Ada yang datang dari sakit hati
Ada yang datang dari kenakalan
Ada yang datang dari keinstanan
Ada yang datang dari kehilangan
Alasannya sama “kebutuhan”

Perempuan-perempuan di balik kaca
Berbusana minim, saling menggoda
Mencari apa mereka...?

Kuperhatikan dengan cara apa mereka mencari...
Ada yang meletakan asa di rambutnya
Ada yang meletakan asa di bibirnya
Ada yang meletakan asa di belahan dadanya
Ada yang meletakan asa di rok mininya
Ada yang meletakan asa di indah tubuhnya
Hakekatnya sama “menggoda”

Perempuan-perempuan di balik kaca,
berwajah lelah, goyah melangkah...
Mau kemana mereka...?

Ada yang pulang ke mimpi-mimpinya
Ada yang pulang ke kesedihannya
Ada yang pulang ke kehampaannya
Ada yang pulang ke pengharapannya
Ada yang pulang tanpa tujuan
Tidak ada yang berani pulang
ke “kenyataan...”

Ruang kaca itu akhirnya sepi
lampu-lampu telah dipadamkan
tinggal sederet kursi merah membisu
menyimpan cerita yang sama
entah untuk berapa generasi selanjutnya.




TIGA GELAS PERTAMA

Ketika akhirnya bahtera itu karam
Ombak menghempasku dari segala penjuru
Aku terombang ambing tanpa sadar
Ketika sadar, aku telah berada di sini
Di tubuh temaram…
Berteman cawan-cawan cristal warna-warni

Aku angkat gelas pertama ;
berharap untuk lupa

Suara-suara disini terdengar asing
Lagu-lagu disini tak mampu menggerakan rasa
Ketika perlahan aku mulai meninggalkan kesadaran,
Aku berusaha mengerti dan nikmati
Hm..., ada aroma dosa di sini...
Aku tak perduli...!!!

Aku angkat gelas kedua ;
berharap untuk lepas

Ada seorang perempuan di sampingku
Berbedak tebal, berambut ‘indah’
dengan riang Ia bernyanyi
Lagu-lagu yang sebenarnya tak kupahami
Siapa dia...?

Aku angkat gelas ketiga ;
berharap untuk bebas

Aku berlari jauh meninggalkan kesadaran
Menggali semua keinginan lebih dalam
Melepas semua hasrat untuk lebih bebas
Melayang....

Waktu jatuh jauh ke inti malam
cawan-cawan telah lama kosong
Ketika ku turun dari awang-awang
kutemukan diriku terpuruk di sudut sofa
tanpa pernah berbuat apa-apa
hampa....




TENGGELAM

Malam-malam makin banyak tertinggal
Aku makin akrab dengan aroma bulan dan
cawan-cawan cristal warna-warni
Lagu-lagu yang tak kupahami, mulai kumengerti
Perempuan-perempuan yang kupertanyakan
mulai kukenal
Perempuan-perempuan yang kukenal
mulai berani membuka topengnya.

Aku makin pintar bermain dengan dosa
Menyulam cahaya di hamparan temaram
Menebar fantasi di lantai dansa
Menuang rindu di gelas-gelas kaca
Tenggelam..., melayang..., tenggelam lagi
Tapi, entah mengapa...
Semakin aku lebih banyak mengenal...
Aku makin merasa sendiri.

Aku telah jatuh jauh
dan terpenjara di inti malam
Yang kucari tak pernah kutemukan
Yang kutemukan tak kuinginkan
Tapi aku tak ingin beranjak
Di sini tak segerah di luar sana..!!




YANG TAK TERDUGA

Ada yang tak pernah kuperhitungkan
ketika sepasang tangan bayi
menyeka air mataku
saat duka menyergap bagai gelombang
Lalu...
kugapai tangan itu
kuletakan lembut di pipiku
Ada kesejukan yang mengalir darinya
dan akupun tertidur pulas

Ada yang tak dapat kupercaya
Ketika sepasang mata bening itu
meneteskan air tanpa suara
saat kegalauan hatinya tak terbendung
Lalu...
kuraih wajah itu
kurebahkan perlahan di dadaku
Ada kehangatan merasuk dalam rasa
dan akupun tak mampu menghindar

Ada yang tak lagi dapat kupungkiri
Ketika malam-malam tak lagi sama
Gelapnya tak lagi sepi,
saat dia datang dengan senyum kekanakannya
Lalu...
Aku tak sanggup berpaling
“Kan kuikuti arus yang mengalir dalam rasa
  walau kutau tak bermuara”




KETIKA KITA TIDAK HARUS BERTANYA

Malam-malam tak lagi sepi
Kugembalakan rasa di padang temaram
Bulan terlihat lebih indah
dengan sinar peraknya yang menawan

Kita, adalah kau dan aku
yang berkomitmen
untuk tidak ada komitmen
yang melepas rasa di bawah bulan
dan membiarkannya berkeliaran

Kita, adalah kau dan aku
yang bertualang tanpa tujuan
(atau tujuannya adalah pertualangan...?)
Kita nikmati sisa waktu yang kita punya
tanpa harus mengerti arti ‘setia’

Kita, adalah kau dan aku
yang saling menipu diri
ketika harus berhadapan dengan matahari...!




DIA, YANG MENCOMOOH KU

dia yang terlahir dari dendam
  mengangkat beban terlalu berat
  untuk dipersembahkan pada matahari

Ia yang belajar banyak dari bulan
    yang kadang bersinar sedikit malu-malu
    yang kadang telanjang melempar pesona
    yang kadang merajuk berselimut awan
Ia yang masuk ke inti malam
    dengan cemooh dalam senyuman

dia yang terlahir dari sakit hati
  mengkonversi hidup dengan materi
  dan mengakuinya tanpa risih

Mulanya, aku tak mengerti
Ketika mengerti, aku tak percaya
Ketika mulai percaya, aku terlanjur sayang
‘Ia telah masuk ke inti hati’
mencemoohku dengan senyuman

dia yang terlahir dari kehilangan
  akan masa kekanakan karena beban
  mentertawakan kebodohanku lewat senyuman

Kuterima dengan seutuh keikhlasan...!




KEMBALINYA SATU MASA YANG HILANG

Seraut wajah yang kukenal
terjebak di bawah matahari
Tamparan ombak yang susul menyusul
membersihkan sisa-sisa make-up malam tadi
Aku tertegun,
Seraut wajah yang kukenal
berekspresi tak terduga

Ia bermain dengan ombak
Menepis buih tertawa lepas
Menepuk air, berlompatan girang
mengibas rambut basah, menengadah ke langit
seakan temukan kembali satu masa yang hilang
Aku terenyuh,
Seraut wajah yang kukenal, begitu bersinar
dalam kepolosan yang begitu mengharukan.

Seraut wajah yang kukenal
Tertidur lelah di pangkuanku
dengan segaris senyum puas
disudut bibirnya yang kering
Aku menghela nafas panjang...
Seandainya ibu bulan lebih bermurah hati,
  kuingin jangan bangunkan dia malam ini...




KETIKA TOPENG MALAM DIBUKA

Aku pernah melihat dia sangat dekat
ketika topeng malamnya dibuka
Seraut wajah bayi dibaliknya
tertidur pulas dipangkuanku
dalam lelah yang sempurna...
Kedua tangannya menopang wajah
Tubuh kecilnya meringkuk kedinginan
Sehelai jaket yang kuselimutkan
Tidak berarti apa-apa

Lama kupandang wajah bayi itu
dalam diam berkepanjangan
dalam sedih ketidakberdayaan
Kupandang lagi,...     duka lagi
Kupandang lagi,...     aku ingin berlari
Kupandang lagi,...     dosa menikam diam-diam

Kusingkap dua helai rambut
yang terjatuh di pipi bayinya
Kukecup keningnya perlahan
dalam janji pada ‘bukit bintang’
Kan kulakukan yang terbaik untuknya
  Walau kan kutemukan yang terburuk untukku”
Sebelum dia terbangun
dan mengenakan kembali topeng malamnya...!





TEMANKU, DIMANA KAU..?

“Seorang teman pernah berkata;
  Sesuatu yang dimulai dari pengkhianatan
  Tidak layak untuk dilanjutkan

Aku menyangkal keras
Bagiku rasa itu tak bertuan
Ia bebas singgah kemana yang ia inginkan
kedekatan yang terlahir karenanya,
bukanlah suatu dosa...!
Kita hanya perlu menjaga diri kita sendiri
Untuk tetap berada
di koridor agama dan norma yang diyakini.
Temanku tersenyum...., bermisteri (bijaksana)
Aku tau, ia lagi tak ingin berdebat
dan aku, lagi tak ingin nasehat.

“Seorang teman, kini entah dimana
 Saat-saat seperti ini aku rindu dia
 Untuk berterimakasih akan kebenarannya”

Tak pernah bisa kupahami dulu
Bahwa kedekatan tidak hanya bisa terlahir dari hati
Ternyata, ia juga bisa terlahir dari logika,
dari hasil perhitungan matematika,
dari kebutuhan, dari pertualangan,
dari kenakalan, dan dari dendam!
Mungkin itu yang dulu temanku maksud dengan pengkhianatan
Kuakui kebenarannya sekarang,
Di sini,..... di bawah bulan.

“Seorang teman yang kurindu
  Jika saja dia ada di sini sekarang,
  pasti ia dapat menentramkan amarahku”

Bukan lagi pengkhianatan yang kusesalkan
tetapi ketika itu kau lakukan dengan sadar
tanpa ada rasa bersalah kepadanya...,
penyakit dihatimu yang kucemaskan!




AKU HARUS PERGI DARI SINI

Ketika akhirnya ku tau kau tak sendiri,
  aku ingin dapat mengerti.
  Ketika kurasa aku dapat mengerti
  mengapa harus ada yang hilang dari hati?

Ini dunia lain, dunia di bawah bulan
Setiap ada sinar, pasti berlatar kegelapan
Harusnya aku hanya bermain di bawah cahaya
tidak perlu menyingkap tabir gelap dibelakangnya
kuakui kebodohanku
dan aku tidak menyesal karenanya
Karena rasa sayang bukan dosa,
hakekatnya memberi, bukan meminta!

Ketika akhirnya aku tau tempatku diantara kalian,
 Aku kehilangan seluruh kepercayaan
 Jika masih ada sisa keinginan yang kupunya,
 hanya untuk melihatmu bahagia”

Ini dunia lain, dunia di bawah bulan
Akhirnya aku putuskan untuk pergi dari sini
Tapi tidak harus dengan berlari
Perlahan..., kan kunikmati perpisahan
seperti kusyukuri perjumpaan
Karena aku ingin pergi dengan keyakinan
telah kupilihkan jalan yang terbaik untukmu

Ketika akhirnya kuyakin
 telah memberi jalan yang terbaik untukmu,
 aku baru dapat ikhlas
 Ketika dengan seutuh ikhlas
 aku selesai berdo’a untuk kebahagiaanmu,
 Ku kumpulkan semua sisa kekuatanku
 Untuk menyeret jiwa yang terluka ini
 dan melangkah tanpa berpaling...”





SELAMAT DATANG MATAHARI

“ Kuseret langkah ke ujung malam
   Dengan membawa luka yang masih berdarah
   untuk bertemu matahari”

Malam mengajariku banyak
Malam melukaiku banyak
Pada malam tidak hanya ada mimpi
karena mimpi tidak melukai
Pada malam tidak hanya ada gelap
banyak cahaya di sana
tapi hampir seluruhnya menyilaukan mata

Aku terkapar di ujung lelah
Jalan yang telah kuambil,
meguras seluruh kekuatanku
Luka yang kudapat,
menghancurkan semua keakuanku
Kini aku hanya tinggal seonggok daging dan tulang
yang mencoba bertahan,
tanpa apa-apa...
tanpa siapa-siapa...

Kutemukan cawan suci di depanku
Retaknya telah terlalu banyak
walau belum terlanjur pecah
tak mungkin lagi untuk dituangkan harapan

Langit memerah di batas cakrawala
Aroma Ramadhan telah sampai di sini
Gerbang hari jadi menyambut kedatanganku
Kutarik nafas dalam-dalam...
Kulepas pasrah dalam ;
Bismillah........
“Selamat jalan bulan...
  Selamat datang matahari....
  Selamat tinggal bukit bintang...!”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan koment di sini :